Baru saja kita lolos dari perangkap pandemi Covid-19, yang mana dampaknya cukup signifikan dalam berbagai sendi kehidupan manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Namun sepertinya takdir bangsa Indonesia harus kembali lagi menghadapi kondisi yang tidak jauh berbeda, rezim Prabowo-Gibran.
Ya, kenapa saya katakan begitu? Karena rezim pemerintahan ini sudah menampakkan jati dirinya. Contoh cepat misalnya, kita bisa lihat dalam 100 hari kerja pemerintahan ini (sejak dilantik), setidaknya sudah ada satu menteri yang kena reshuffle (diganti). Hal tersebut terdengar absurd dan saya hanya bisa bertanya-tanya, kok bisa diganti dalam waktu sesingkat ini? Saya pun bingung, apakah sebelum dilantik si menteri tidak melewati proses fit and proper test, atau hanya dilantik karena ada udang di balik batu saja?
Ilustrasi perencanaan anggaran dan efisiensi (Sumber: www.dailycsr.com) |
Selain itu begitu banyak berita negatif yang terjadi selama pemerintahan yang boleh dibilang masih seumur jagung ini, sebut saja tentang kasus pagar laut Tangerang, tagar #kabursajadulu, kebijakan distribusi gas LPG 3 kg, dan aksi Indonesia Gelap. Hal ini semakin diperburuk dengan kebijakan efisiensi anggaran APBN yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Jumlah Efisiensi APBN Prabowo-Gibran
Dilansir dari situs BBC [1] berdasarkan Inpres efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tersebut, pemerintah Prabowo-Gibran memangkas anggaran belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp256,1 triliun dari alokasi awal Rp1.160,1 triliun untuk 2025. Angka ini belum termasuk pemangkasan APBD yang di transfer ke daerah.
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, menyampaikan penghematan anggaran ini dilakukan untuk membiayai program-program prioritas pemerintah, salah satunya Makan Bergizi Gratis (MBG) [2]. Belakangan juga diketahui bahwa penghematan ini dilakukan untuk mendukung pembentukan lembaga baru yaitu Danantara [3]. Mungkin kita akan membahas hal ini di blog yang lain.
Implikasi kebijakan efisiensi di Pemerintahan Prabowo-Gibran seperti pedang bermata dua. Hal ini dapat memberikan sinyal bahwa pengelolaan anggaran di K/L Indonesia selama ini tidak efisien dan boros, atau malah pemangkasan anggaran ini dapat berdampak negatif terhadap kinerja K/L itu sendiri. Hal ini dapat divalidasi dengan hasil kinerja K/L selama satu tahun ini. Apakah sama saja, atau ada perubahan ke arah negatif atau positif. Jika terbukti bahwa dampak efisiensi ini tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja K/L, maka pemerintah harus mengevaluasi ulang tugas dan fungsi masing-masing K/L, terlebih dengan julukan kabinet gemuk ini. Apakah memang perlu Negara Indonesia mengoperasikan K/L sebanyak itu?
Efisiensi Anggaran Kemendikdasmen
Pemangkasan anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) dikabarkan mencapai 23,95% dari anggaran awal sebesar 33,5 T atau diefisienkan sebesar 8,03 T [1]. Menteri Abdul Mu'ti mengklaim pemangkasan anggaran tidak akan mengganggu program strategis, seperti Bantuan Operasional Sekolah, Program Indonesia Pintar, dan tunjangan Sertifikasi Guru. Meskipun dikatakan demikian, dapat dipastikan bahwa program "non-strategis" lain akan terganggu.
Pemangkasan tersebut setidaknya akan berdampak pada bantuan sektor lain seperti infrastruktur, termasuk di dalamnya pembangunan ruang kelas, dan fasilitas lain terkait pembelajaran di sekolah sekolah. Selain itu, para pengamat pendidikan juga memperkirakan hal ini juga dapat berdampak terhadap tunjangan dan perekrutan guru di masa pemerintahan Prabowo-Gibran [1].
Di sektor pengembangan kompetensi sumberdaya manusia, dimana penulis bekerja juga sudah merasakan dampak efisiensi ini. Tentu bukan hanya sekedar penghematan operasional lembaga, namun secara tugas dan fungsi juga ikut terasa. Pada Tahun 2025 ini, pelaksanaan pelatihan kompetensi bagi guru (khususnya vokasi/SMK) akan dilaksanakan secara hybrid dan pengurangan jumlah peserta untuk setiap kelas yang diusulkan. Tentu jumlah pelatihan yang akan dilaksanakan juga akan berkurang dibandingkan dengan jumlah pelatihan yang dilaksanakan pada tahun lalu.
Amanat UUD 1945
Sri Mulyani sudah berjanji akan menjaga amanat UUD 1945, yakni mengalokasikan 20% APBN untuk anggaran pendidikan [4]. Tentu anggaran pendidikan yang dimaksud bukan hanya yang dialokasikan di Kemendikdasmen, tetapi juga di K/L lain yang juga mengelola sektor pendidikan. Salah satunya adalah Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang "terpaksa" harus mengefisienkan 14,3T, dengan rincian beberapa alokasi yang terdampak adalah seperti KIP Kuliah, Beasiswa Pendidikan Indonesia, Beasiswa Kerjasama Negara Berkembang, dan Beasiswa Dosen dalam dan luar negeri.
Kementerian lain yaitu Kementerian Agama yang juga mengelola sektor pendidikan dari mulai madrasah hingga pendidikan tinggi juga harus mengefiesienkan anggaran mereka sebanyak 12,3 T [5], yang juga akan sangat berdampak terhadap pengelolaan pendidikan dibawah kendalinya.
Saya menulis ini di Bulan Maret 2025, saat bulan puasa bagi kaum muslim. Semoga janji untuk menjaga amanat UUD tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah Prabowo-Gibran.
Bahan bacaan
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckgxe99qyzno
- https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20250210/Masa-Depan-Pendidikan-Usai-Pemangkasan-Anggaran/
- https://www.csis.or.id/news/efisiensi-anggaran-dan-pembentukan-danantara-peluang-ekonomi-atau-tantangan-fiskal/
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250213204246-532-1198062/sri-mulyani-janji-jaga-anggaran-pendidikan-dari-diet-apbn-prabowo
- https://tirto.id/kemenag-kena-efisiensi-rp123-t-jamin-haji-tak-terganggu-g8jb
Komentar
Posting Komentar