Langsung ke konten utama

Mengapa uji kompetensi kenaikan jenjang Widyaiswara terkesan sulit?

Seminggu yang lalu (8-10 November 2024) saya baru saja mengikuti kegiatan uji kompetensi kenaikan jenjang Widyaiswara (WI) yang diselenggarakan bersama LAN di Depok (Kantor BBPPMPV Bisnis dan Pariwisata). Kegiatan ini saya ikuti untuk mendapatkan sertifikat uji kompetensi yang menjadi syarat bagi saya sebagai WI untuk dapat mengusulkan kenaikan posisi jabatan saya dari jabatan WI Ahli Pertama menjadi WI Ahli Muda. Uji kompetensi ini juga berlaku untuk jenjang jabatan lain baik WI ahli Muda menjadi WI Ahli Madya, dan seterusnya.

Syarat sertifikat lulus uji kompetensi ini mulai berlaku sejak terbitnya Peraturan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 5 Tahun 2021 tentang uji kompetensi jabatan fungsional WI. Melalui peraturan tersebut disebutkan juga uji kompetensi juga diberlakukan untuk pengangkatan jabatan WI baru. Jika dilihat dari tahun terbitnya peraturan tersebut (2021), maka dapat dipastikan bahwa sebelumnya tidak ada kewajiban terhadap uji kompetensi ini. Sehingga pada waktu itu, sertifikat uji kompetensi tidak menjadi syarat wajib dalam pengangkatan PNS ke dalam jabatan WI maupun kenaikan jenjang jabatan WI. 

Pada saat uji kompetensi ini, ada kejadian yang menarik saya jumpai yang dialami oleh sahabat WI yang lain. Dimana mereka sudah berada dalam jabatan WI Ahli Muda, namun mereka tidak memiliki sertifikat uji kompetensi jenjang Ahli Pertama ke Muda. Hal ini karena mereka tidak pernah mengikuti uji kompetensi tersebut, sehingga pada waktu mereka diangkat menjadi WI Ahli Muda, mereka tidak wajib melampirkan sertifikat Uji kompetensi. Nah, yang terjadi kepada mereka kemudian (beberapa yang saya jumpai di kelompok saya), harus mengikuti uji kompetensi kenaikan jenjang dari WI Ahli Pertama menjadi WI Ahli Muda terlebih dahulu meskipun mereka sudah menduduki jabatan WI Ahli Muda (berdasarkan SK) selama beberapa tahun ini (artinya sejak sebelum Tahun 2021, saat ini 2024). Atau dengan kata lain, mereka belum berhak untuk naik ke jabatan WI Ahli Madya, jika belum mempunyai sertifikat uji kompetensi kenaikan jenjang dari WI Ahli Pertama ke Ahli Muda.


Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Saryadi S.T., M.B.A., memberikan sambutan pada saat pembukaan kegiatan uji kompetensi kenaikan jenjang Widyaiswara di BBPPMPV Bisnis dan Pariwisata, Depok (09 Desember 2024).

Sekilas, saya melihat kejadian ini sangat membingungkan ya? Namun itulah kenyataan yang terjadi dan saya lihat sendiri bagaimana permasalahan LAN dalam mengelola jabatan fungsional WI. Saya persilahkan pembaca blog ini untuk dapat memberikan pendapat sendiri tentang hal tersebut. Pedoman pelaksanaan uji kompetensi ini sebenarnya juga telah diatur bersama dengan pelatihan kewidyaiswaraan berjenjang sesuai dengan peraturan LAN Nomor 9 Tahun 2018. Jadi, uji kompetensi ini seharusnya merupakan tahapan akhir dari pelatihan kewidyaiswaraan yang diselenggarakan oleh LAN.

Saya lanjutkan sedikit lagi cerita uji kompetensi ini. Sebagai syarat mengikuti uji kompetensi, pelatihan kewidyaiswaraan seharusnya diikuti terlebih dahulu oleh calon peserta dong? Namun karena pelatihan tidak diselenggarakan, maka kegiatan langsung kepada pelaksanaan uji kompetensi. Padahal pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi WI sangatlah penting. Adapun pelatihan, masih belum efektif seperti yang terjadi di beberapa instansi lain (Hidayat & Sa'ud, 2015; Wahyuni, 2020). Padahal misalnya hasil kajian Suharto (2023) terhadap 135 WI di wilayah DIY, menunjukkan kebutuhan dan minat pengembangan kompetensi WI terkait penyusunan buku, karya tulis ilmiah, dan pelatihan fungsional lainnya sangat besar. Saya sendiri secara pribadi belum pernah mendapatkan pelatihan dari LAN, kecuali kegiatan pembekalan dan orientasi Widyaswara satu minggu (65JP) yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Pegawai Kemendikbud pada Tahun 2019, tidak lama setelah saya diangkat dalam jabatan WI.

Kembali ke pelaksanaan uji kompetensi, peserta sebelumnya telah diberikan pembekalan secara daring (melalui Aplikasi Zoom, oleh narasumber dari LAN). Pada pembekalan sekali pertemuan tersebut, kami (WI yang akan naik jenjang ke Ahli Muda) dipersyaratkan untuk menyiapkan dokumen Portofolio, Proposal Program Pelatihan, dan bahan presentasi keduanya. Sedangkan bagi WI yang akan menaiki jenjang Ahli Madya, diminta hal yang sama namun mereka diminta menyiapkan dokumen Proposal Buku (bukan Program Pelatihan). Sesuai arahan saat pembekalan, nanti setiap peserta akan memaparkan Portofolio dan Proposal mereka masing-masing setidaknya selama 10-15 menit. Setelah itu, tim evaluator (asesor) akan menyampaikan pertanyaan dan diskusi terkait materi yang disampaikan.


Pembekalan uji kompetensi Widyaiswara yang dilaksanakan secara daring melalui Aplikasi Zoom

Jika merujuk kepada Peraturan LAN Nomor 9 Tahun 2018, disitu terdapat lampiran formulir penilaian proposal program pengembangan kompetensi pelatihan kewidyaiswaraan, yang memuat area evaluasi berupa kejelasan latar belakang, kesesuai program dengan TUSI lembaga, ketepatan analisis kebutuhan, ketepatan program dengan kebutuhan lembaga, kelayakan program, dan kemampuan meyakinkan stakeholders untuk dukungan terhadap program yang diusulkan. Sedangkan penilaian yang dicantumkan adalah sangat/cukup/belum jelas, sangat/cukup/kurang sesuai, tepat, atau meyakinkan.

Komponen evaluasi tersebut, persis dengan substansi pertanyaan yang dilontarkan evaluator kepada saya setelah saya selesai memaparkan materi uji kompetensi saya tersebut. Setidaknya ada dua evaluator yang hadir di ruangan uji kompetensi saya. Saya tentu tidak melihat penilaian yang evaluator berikan, dan pun mereka tidak menyampaikan hasilnya diakhir sesi diskusi. Namun saya berusaha memberikan jawaban yang terbaik sesuai dengan portofolio dan proposal program yang telah saya rancang.

Judul blog ini saya akhiri dengan kata sulit dan tanda tanya, silahkan dimaknai saja apakah sulit dalam prosesnya atau sulit dalam pelaksanaannya? Sebagai catatan saya menerima SK PAK (Penetapan Angka Kredit) WI pada Tanggal 10 Maret 2022, yang menyatakan dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan pangkat menjadi penata (III/c) dengan syarat lulus uji kompetensi. Sayangnya di sepanjang Tahun 2022 dan 2023 tidak kunjung mendapat panggilan untuk mengikuti uji kompetensi. Hal ini disinyalir karena kuota pelaksanaan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh LAN sangat terbatas. Sejauh yang saya tahu, hanya dua kelas per tahun, dimana satu kelasnya mungkin hanya 30-an peserta?

Fyi, jumlah WI di Indonesia setidaknya lebih dari 5000 orang (Tunsiah, 2021). Dengan demikian, dari jumlah tersebut dan jatah/quota peserta pelatihan yang disedikan, dapat dibayangkan masa tunggu yang harus dialami oleh seluruh WI di Indonesia. Namun demikian, opsi pelaksanaan uji kompetensi ini juga sudah diatur di dalam Peraturan LAN nomor 5 Tahun 2021 tadi, yaitu pembiayaan uji kompetensi dapat berasal dari lembaga dimana WI tersebut bekerja. Sehingga, Instansi asal WI dapat bermohon kepada LAN untuk dapat melaksanakan uji kompetensi secara mandiri menggunakan anggaran masing-masing. Sebagai informasi, program uji kompetensi yang saya ikut kali ini, merupakan inisiasi Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan bersama Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi.

Kajian oleh Tunsiah (2021) terhadap proses pelaksanaan uji kompetensi WI di masa pandemi Covid-19 yang lalu juga telah menyampaikan permasalahan masa tunggu ini. Pengumpulan angka kredit untuk memenuhi syarat kenaikan jenjang saja membutuhkan waktu sendiri, saya saja perlu setidaknya 3 tahun, jika dihitung dari SK pengangkatan WI (2019) hingga PAK rekomendasi keluar (2022). Oleh karena itu, saya secara pribadi mengusulkan, jika memungkinkan pelaksanaan uji kompetensi ini dapat dilaksanakan secara daring. Sehingga dapat meningkatkan kuota dan mempersingkat masa tunggu, hal ini juga akan menekan biaya penyelengaraan dan perjalanan dinas. Sekalipun ada pembiyaan administrasi uji kompetensi, kemungkinan WI secara pribadi dapat membayarnya, tidak harus bergantung terhadap koordinasi antar lembaga, cukup antar individu WI dengan LAN saja. Bahkan untuk mengikuti pelatihan saja, WI tidak jarang merogoh kocek pribadi (Karim, 2020).

Jika pembaca blog ini ada juga yang berasal dari kalangan WI, silahkan bagikan pendapat dan pengalaman kalian mengikuti uji kompetensi di kolom komentar, khususnya kenaikan jenjang jabatan. Terimakasih,

Daftar Pustaka

Hidayat AI, Sa'ud US. 2015. Model pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi bagi widyaiswara muda. Jurnal Administrasi Pendidikan, 12(2), 23-38. https://doi.org/10.17509/jap.v22i2.5386

Karim TZ. 2020. Pengembangan kompetensi widyaiswara di tengah pandemi virus corona 2019. Jurnal Kewidyaiswaraan, 5(2), 2-11.

Suharto T. 2024. Model pengembangan kompetensi profesional widyaiswara berkelanjutan dalam era digital. Asosiasi Profesi Widyaiswara Indonesia, Prosiding PITNAS Widyaiswara Vol 1, hal 373-389.

Tunsia S. 2021. Implementasi kebijakan uji kompetensi jabatan fungsional widyaiswara di era pandemi. Junrla Analis Kebijakan, 5(2), 132-148.

Wahyuni S. 2020. Strategi penguatan kapasitas Lembaga Pelatihan dalam meningkatkan kompetensi SDM aparatur untuk mewujudkan learning organisation. Jurnal Bestari, 1(1), 32-46.

Komentar

Postingan populer dari blog ini