Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% akan segara diimplementasikan pada 1 Januari 2025, sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021. Hal ini menjadi isu yang hangat diperbincangkan dan diberitakan banyak oleh media nasional dan juga di media sosial [1]. Tentu saja hal ini menjadi menarik, mengingat pemerintahan Presiden Prabowo belum masuk 100 hari (sejak 20 Oktober 2024), namun isu kenaikan pajak sudah menjadi topik nasional. Meskipun sebenarnya peraturan terkait kenaikan pajak ini (UU Nomor 7 Tahun 2021) sudah diterbitkan sejak zaman Presiden Joko Widodo.
Kenaikan PPN secara prinsip merupakan kebijakan kompleks yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan jumlah penerimaan negara di sektor pajak [2]. Sehingga, akan memberikan dampak positif dan negatif terhadap masyarakat dan berbagai sektor perekonomian di Indonesia. Namun, berdasarkan kajian oleh Siahaan, kenaikan PPN sebelumnya dari 10% menjadi 11% sudah memberikan dampak yang negatif khususnya kepada masyarakat menengah kebawah, terlebih saat itu masih terdampak pandemi Covid-19 [3].
Dampak kenaikan PPN 12% di sektor pendidikan
Meskipun secara langsung jasa pendidikan bisa saja terbebas dari kenaikan PPN (khususnya pada sekolah negeri), namun secara tidak langsung dapat memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap operasional dan kualitas pendidikan. Beberapa hal yang dapat terdampak seperti,
- Kenaikan biaya operasional pembelajaran, termasuk didalamnya kenaikan harga dan biaya perawatan alat dan bahan praktik untuk program teaching factory, pembelajaran di workshop/laboratorium, karyawisata, projek, dan pembelajaran di luar kelas, serta kenaikan harga utilitas lainnya (listrik, air, internet, dan sebagainya).
- Penurunan kualitas pendidikan, jika terjadi pembatasan frekuensi dan durasi praktikum dan penggunaan peralatan akibat beban operasional.
- Penurunan kerjasama industri, bisa saja terjadi jika beban perusahaan mitra terdampak akibat kenaikan PPN, sehingga pola kerjasama dengan sekolah (khususnya SMK) dapat saja berubah dan cenderung berkurang, seperti pengurangan jadwal magang dan jumlah siswa.
Hal tersebut akan memicu berbagai pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan pihak sekolah. Sekolah swasta mungkin saja akan menaikkan biaya pembinaan pendidikan atau SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) untuk menutupi beban operasional pendidikan yang secara tidak langsung bertambah akibat kenaikan PPN. Selanjutnya dikemudian hari, bisa saja faktor tersebut akan mempengaruhi jumlah penerimaan peserta didik baru pada sekolah sekolah tersebut.
Meskipun sekolah-sekolah seperti SMK sudah menerima dana bantuan operasional sekolah (BOS), terkadang alokasi dana yang terbatas dan prioritas yang berbeda dari pemangku kepentingan, menyebabkan sering ditemukan kekurangan alat praktik dan tidak adanya biaya magang siswa di SMK-SMK di Indonesia (khususnya SMK negeri). Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan di SMK dan sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Siswa SMK sedang melaksanakan praktik pembelajaran di Workshop Bengkel Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan Ringan di SMK 5 Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. |
Kaitan kenaikan PPN 12% dengan program makan bergizi gratis
Kebijakan makan siang gratis atau belakangan diubah menjadi makan bergizi gratis (MBG) dan kenaikan PPN 12% mungkin saja memiliki kaitan yang kompleks, sehingga dapat berdampak antara satu dan lainnya. Pemerintah mungkin mengharapkan bahwa peningkatan penerimaan dari kenaikan PPN dapat membantu mendanai program MBG, terutama jika program ini membutuhkan anggaran yang besar. Perkiraan anggaran yang diperlukan untuk program MBG adalah sekitar Rp. 71 triliun, untuk 20 ribu porsi di Tahun 2025. Alokasi sebanyak Rp. 71.000 miliar tersebut bahkan hanya untuk simulasi awal dari kebutuhan per tahun sebanyak Rp. 185.2 triliun. Meskipun disebutkan bahwa kebijakan yang diambil adalah dengan "penyesuaian" anggaran setiap Kementerian/Lembaga di Kabinet Prabowo (Merah Putih) dengan skema automatic adjustment [4].
Namun, kaitan kenaikan PPN dengan program MBG tidak selalu langsung terlihat. Hal ini karena penerimaan PPN masuk ke kas negara masih secara umum dan tidak dikhususkan untuk program-program tertentu. Jika pemerintah memiliki prioritas lain atau defisit anggaran yang besar, pendapatan negara dari kenaikan PPN belum pasti akan diprioritaskan untuk program MBG.
Di lain pihak, kenaikan PPN bisa mengurangi daya beli masyarakat, yang pada gilirannya bisa membuat kebijakan MBG lebih penting sebagai jaring pengaman sosial, tetapi juga bisa membuat pemerintah lebih hati-hati dalam mengalokasikan anggaran, karena masyarakat yang sudah terbebani oleh kenaikan pajak. Kenaikan PPN juga dapat meningkatkan harga bahan makanan, yang bisa membuat program MBG lebih mahal untuk dijalankan. Sekolah mungkin harus menyesuaikan menu atau mencari bahan yang lebih terjangkau, yang bisa mempengaruhi kualitas nutrisi yang diberikan.
Kontroversi dan kemungkinan
Berbagai petisi dan reaksi negatif dari publik telah banyak muncul, mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini. Misalnya, petisi yang menolak kenaikan PPN ini telah mendapatkan ribuan tanda tangan, yang menunjukkan tekanan sosial terhadap kebijakan tersebut [5]. Petisi tersebut dapat diakses melalui tautan ini https://chng.it/P752nV9kD4.
Sikap warganet menolak kenaikan PPN 12%. Sumber: Change.org |
Saat ini, tidak ada jaminan bahwa pemerintah Presiden Prabowo akan membatalkan kenaikan PPN 12%, namun ada ruang bagi revisi atau penyesuaian berdasarkan keadaan. Tentunya ada mekanisme hukum yang memungkinkan pemerintah untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN ini. Setidaknya pembatalan atau penundaan memerlukan koordinasi dengan DPR, terutama jika membutuhkan perubahan undang-undang atau peraturan.
Secara POV saya pribadi, ada saja kemungkinan pemerintah Presiden Prabowo membatalkan atau menunda kenaikan PPN 12%, terutama jika ada konsensus bahwa kebijakan ini akan berdampak negatif pada ekonomi atau tidak mendapat dukungan publik yang cukup. Namun, ini masih dalam ranah spekulasi hingga ada keputusan resmi dari pemerintah. Namun, harapan saya adalah bahwa kebijakan ini akan ditinjau ulang atau setidaknya diimbangi dengan inisiatif yang memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional.
Strategi mitigasi
Untuk mengatasi dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kenaikan PPN 12%, mungkin beberapa langkah berikut dapat menjadi pertimbangan,
- Insentif pendidikan dan pendanaan alternatif, Pemerintah perlu mempertimbangkan pengecualian atau intensif khusus di sektor pendidikan, mungkin dalam bentuk program baru yang lebih efeketif untuk meningkatkan pembelajaran dan subsidi dana pendidikan. Bantuan dari pihak industri atau mungkin sponsor lain dapat menjadi pertimbangan untuk membantu dana operasional pendidikan.
- Optimalisasi dana BOS, hal ini sangat tergantung kepada kebijakan yang diambil oleh Pemangku kebijakan dan pelaksana di Sekolah
- Kerjasama dengan Industri, harus tetap dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan untuk menghindari pengurangan pengalaman praktik siswa sekolah (khususnya SMK).
Daftar Rujukan
- https://www.tempo.co/ekonomi/bermunculan-kritik-rencana-kenaikan-ppn-12-persen-yang-akan-diberlakukan-pada-1-januari-2025-1172263 [diakses 22 Desember 2024]
- https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/15047/Sudah-Efektifkah-PPN-11-Persen.html [diakses 22 Desember 2024]
- Siahaan ALS. 2023. Menelaah kenaikan tarif PPN 11% di Indonesia. Indonesian Journal of Business Law 2(1), 24-28. doi: 10.47709/ijbl.v2i1.2029
- Avisena MIR. 2024. Makan bergizi gratis gerus anggaran K/L. [koran] Media Indonesia Senin 1 Juli 2024. Halaman 11.
- https://katadata.co.id/finansial/makro/67493c911c38a/15-ribu-orang-teken-petisi-penolakan-ppn-12-desak-prabowo-batalkan-kebijakan [diakses 22 Desember 2024]
Komentar
Posting Komentar