Langsung ke konten utama

Hidup hanya tentang meninggalkan, tinggal, dan meninggal

Bulan lalu, tepatnya pada tanggal 23 Desember, saya tepat berumur 37 tahun. Sudah hampir memasuki kepala empat, seperti tidak terasa perjalanan hidup yang sudah dilalui selama ini.

Sebelum membaca lebih lanjut, tulisan kali ini hanya cerita pribadi saya saja, tidak ada analisis, opini, ataupun informasi terkini yang akan saya sampaikan. Mungkin lebih ke cerita pengalaman masa lalu. Jadi, tidak mengapa jika kalian skip dan membaca artikel blog saya yang lain saja yang mungkin menarik.

Fyi, saat ini saya sudah hampir 10 tahun berdomisili di Sulawesi Selatan, akibat tuntutan pekerjaan dan nasib yang membawa saya terpaksa tinggal dan bertahan hidup di tanah Bugis-Makassar ini.

Kota Makassar (Dokumentasi pribadi, November 2023)

Merantau, mungkin bukan sesuatu yang pernah saya impikan jika saya ditanya "apa cita-cita kamu?" oleh guru di sekolah saya dahulu. Saya tidak ingat benar apa sebenarnya cita cita masa kecil dulu, mungkin saya pernah menjawab ingin jadi polisi, dokter, atau arsitek. Seingat saya, yang jelas dulu ketika lulus SMP, saya pernah berkeinginan untuk masuk STM jurusan Teknik Bangunan. 

Keinginan itu kemudian semakin pudar ketika saya memutuskan masuk SMA. Mungkin saya sudah mulai mendapat banyak masukan atau malah kurang nya referensi profesi di lingkungan saya dulu, menyebabkan saya tidak memiliki passion apapun. Sehingga saya sempat bingung akan kemana nantinya, menjelang tamat SMA.

Setidaknya 18 tahun saya habiskan di kota kelahiran saya tersebut. Selama itu saya hampir tidak pernah meninggalkan Provinsi Bengkulu. Mungkin hanya beberapa kali saya pernah ke Kota Bengkulu (sekitar 140 km dari kota kelahiran saya), itupun hanya untuk liburan atau acara keluarga saja. Tidak ada hal yang bersifat akademik atau organisasi. Karena memang selama saya bersekolah, hampir tidak ada kegiatan ekstrakurikuler yang pernah saya tekuni. Mungkin pernah saya ikuti beberapa kali pertemuan saja, itupun karena didorong oleh wali kelas sebagai pengungkit nilai muatan lokal/ekstrakurikuler di rapor saja.

Hal itu mungkin yang menyebabkan aktivitas saya di sekolah tidak terlalu mulus, terlebih juga bukan siswa yang memiliki prestasi atau nilai rapor yang tinggi. Sehingga ketika akan tamat SMA pun, saya tidak terlalu memiliki preferensi akan seperti apa. Di sini saya sadar betapa pentingnya aktivitas di luar kelas, sebagai wadah untuk mendapatkan informasi lain selain pelajaran buku teks.

Bersama beberapa teman SMA sesaat selepas acara perpisahan di Gedung Pemuda Kota Manna, Tahun 2005

Saya ingat kejadian lucu ketika ada peluang mendaftar jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan) untuk masuk universitas. Saya dan banyak teman-teman satu kelas bermaksud mencoba peluang tersebut. Hal ini akan membuat kami tidak perlu mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang mengharuskan bersaing dengan banyak calon pendaftar lain dari berbagai sekolah. Ketika itu saya sangat berminat untuk mendaftar jalur PMDK di Universitas Bengkulu (Unib). Tidak perlu jauh jauh, yang penting kuliah, begitu dalam benak saya. Namun mungkin bukan takdir saya, guru yang waktu itu bertugas mengawal jalur PMDK Unib menyampaikan bahwa kuota sudah penuh. Dengan pongah beliah mengatakan "kamu daftar sama guru lain saja". Seolah melepehkan siswa yang minim prestasi ini.

Saya sempat mengintip beberapa berkas teman yang medaftar di Unib, saya yakin ada beberapa siswa yang menjadikan Unib sebagai pilihan cadangan mereka. Kami waktu itu memang boleh mendaftar lebih dari satu universitas. Namun, saya sempat kesal karena guru tersebut tidak mau menerima berkas saya, padahal saya menginginkan Unib sebagai pilihan utama saya. Saya kenal beberapa teman saya yang mendaftar di Unib, jika dilihat dari kondisi ekonomi dan kapasitas otak mereka, rasanya hampir mustahil mereka tidak berniat kuliah ke Pulau Jawa atau Kampus lain yang lebih bergengsi.

Mungkin sudah suratan takdir, saya tetap mendaftar jalur PMDK namun di kampus lain. Kampus yang tidak pernah saya dengar sebelumnya dan saya diterima. Padahal saya menjadikan kampus tersebut pilihan, karena saya juga memasukkan berkas saya di kampus yang lain, namun tidak diterima.

Meninggalkan

Tahun 2005, saya akhirnya memutuskan pergi merantau untuk mengambil studi sarjana. Meninggalkan kota kelahiran saya, menjadi perantauan, bermigrasi ke Kota Pekanbaru. Sebuah kota besar di tanah melayu (setidaknya lebih besar dibandingkan Kota Bengkulu), masih di daratan yang sama di Pulau Sumatra, namun budaya dan bahasa lebih dan banyak berbeda. 

Saya terpaksa menggunakan Bahasa Indonesia untuk pertama kalinya walau sekadar hanya untuk berbicara dengan teman satu kos atau membeli lauk untuk makan. Saya ingat hal ini membuat saya sedikit sulit beradaptasi. Perlu waktu bagi saya ketika itu untuk membiasakan diri. Yang mana dikemudian hari, kebiasaan bertutur saya menggunakan bahasa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang saya dapatkan di Kota ini.

Tidak ada keluarga di sana, ketika itu orang terdekat yang saya kenal hanyalah sepupu jauh dari keluarga Ayah saya. Kami pertama kali bertemu ketika saya sampai di Pekanbaru. Selain itu hanya ada tiga orang teman sekolah saya yang sama-sama kuliah di sana.

Sedih, susah, bahagia, pernah dirasakan semua di sana, tidak sedikitpun teman yang didapatkan. Yah, setidaknya saya anggap mereka teman, entah sebaliknya. 

Pernah berpikir untuk tinggal saja di Pekanbaru setelah lulus kuliah. Namun, melihat tiga orang teman sekolah tadi setelah lulus langsung buru buru pulang kampung. Mungkin karena subsidi habis atau karena memang tidak berniat tinggal saja, akhirnya saya juga memutuskan pulang kampung.

Menjaga circle untuk tetap utuh itu memang sulit, makanya banyak hubungan pertemanan itu kadang erat kadang longgar. Jika situasi dan lokasi memaksa untuk berpisah, maka takdir yang pasti disalahkan. Jangankan teman satu kampung, teman teman yang tadinya sama-sama berjuang di kampus tersebut juga akhirnya banyak yang "menghilang".

Kala itu, teman hanya berasal dari kalangan mahasiswa saja. Alumni, senior, bapak kos, bahkan mantan pacar saja sudah tidak bisa dianggap teman lagi. Para dosen juga masih saya anggap seperti saya menganggap dulu sebagaimana guru di sekolah. Tidak mungkin bisa menjadi teman, level mereka terlalu tinggi. Begitu mungkin dalam pikiran saya dahulu.

Bersama beberapa teman mahasiswa satu jurusan

Sehingga memang tidak ada alasan yang kuat untuk saya tetap tinggal di Kota Pekanbaru, tetapi juga tidak ada daya tarik untuk saya pulang kampung. Namun, di saat-saat terakhir saya memutuskan untuk mendaftar program magister saja, daripada saya pulang ke kampung halaman.

Awal 2010 saya pun meninggalkan kota Pekanbaru. Meskipun sempat pulang ke kampung halaman beberapa bulan, namun karena masa perkuliahan magister sudah akan dimulai, saya pun sekitar bulan Mei 2010 menjalani kehidupan baru di Bogor. Ya, di Pulau Jawa. 

Kampus di Bogor jauh lebih besar dari kampus saya sebelumnya. Suasana kampus dan diversitas mahasiswa juga sangat terasa. Kampus ini menyediakan atmosfer perkuliahan yang sangat baik. Pokoknya, saya yang berkuliah disana bisa merasakan kampus ini merupakan kampus terbaik di Republik Indonesia. Juga, kami merupakan mahasiswa mahasiswa yang dihargai di kampus ini.

Tidak banyak yang mau saya ceritakan tentang pengalaman saya di Bogor di tulisan kali ini. Bukan berarti pengalaman saya sedikit di sana. Saya menghabiskan waktu setidaknya hampir lima tahun (hingga awal Tahun 2015). Namun yang menarik disana, saya akhirnya menemukan seseorang yang nantinya akan menemani hidup saya di kota selanjutnya dimana saya akan tinggal untuk waktu yang cukup lama.

Kuliah di Bogor memberikan saya wawasan yang lebih luas terkait bidang ilmu yang saya tekuni. Berkat tekanan akademik dan koneksi riset yang saya bangun, pada musim gugur akhir Tahun 2014 saya sempat mengunjungi sebuah institusi riset dan museum alam di Kota Leiden, Belanda untuk keperluan penelitian Tesis saya. Itu kali pertama saya meninggalkan Indonesia, meskipun tidak dalam waktu yang lama. Saya bahkan sempat berencana untuk melanjutkan studi S3 saya di Belanda. Namun, takdir kembali memaksa saya untuk memilih pilihan lain. Saya lulus tes CPNS di upt Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak lama setelah kunjungan tersebut.

Bersama beberapa teman kuliah magister di Bogor

Saya duduk di ruang kerja salah satu pembimbing akademik di Belanda Tahun 2014

Tinggal

Agustus 2015, saya ingat kali kedua saya menginjakkan kaki di Kota Makassar. Ya, beberapa bulan setelah saya menyelesaikan studi magister saya di Bogor, saya sempat main ke Kota Makassar ketika saya transit menuju Sulawesi Tenggara untuk suatu pekerjaan lain. Waktu itu saya sempat menjadi volunteer di sebuah Organisasi Riset Kelautan asing. Perusahaan atau organisasi lingkungan ini bergerak di bidang riset dan pelatihan, dimana salah satu lokasi fieldwork mereka adalah Pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Hanya beberapa bulan saya bekerja ikhlas disana, karena kemudian saya sudah dipanggil untuk mengabdi di Sulawesi Selatan.

Bersama tim monitoring terumbu karang Pulau Hoga Tahun 2015

Saya menerima pekerjaan sebagai PNS di salah satu kantor unit pelaksana teknis (upt) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berlokasi di Kabupaten Gowa. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan ekspektasi saya, karena upt tersebut ternyata baru dibuka beberapa bulan sebelum seleksi CPNS digelar. Jadi tidak ada informasi atau laman web apapun yang menjelaskan detail kantor ini. 

Ketika mendaftar di laman web CPNS, saya tidak meneliti lebih lanjut penempatan kerja nantinya. Yang saya lihat hanya Eselon 1 tempat formasi yang saya lamar, yaitu Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan-Penjamin Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP), sehingga saya berasumsi akan bekerja di kantor pusat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Senayan, Jakarta.

Bersama teman prajabatan satu bimbingan di Pusdiklat Depok

Namun, kembali mungkin sudah suratan takdir, saya tidak terlalu mau memikirkannya lagi. Hingga tulisan ini saya posting di blog ini, saya masih bekerja di sini. Banyak hal yang terjadi, mungkin saya akan menulis banyak blog terkait pekerjaan saya disini.

Sayangnya saya tidak jadi melanjutkan studi S3 ke Belanda atau ke luar negeri. Namun tentunya di sela sela kesibukan, saya pernah berusaha untuk mencari peluang dan calon pembimbing di tempat lain selain Belanda untuk studi S3. Sayang sungguh sayang mungkin usaha saya tidak terlalu maksimal, saya akhirnya menyelesaikan studi S3 beberapa tahun yang lalu tidak jauh dari lokasi kantor saya, di Kota Makassar. 

Makan udon bersama salah dua sensei dari salah satu Kosen di Jepang Tahun 2018

Wisuda S3 di Baruga Andi Pangeran Petta Rani, Makassar

Akhir kata, selamat ulang tahun untuk saya. Semoga 37 tahun berikutnya lebih baik lagi. Apakah saya tetap akan tinggal atau meninggalkan tempat ini? 

Saya hanya berharap suatu saat saya bisa meninggal di tempat lain, bukan di sini. Salam,

Komentar